Pemberitaan Krisis Iklim di Media Indonesia Masih Minim Menyentuh Akar Rumput
JAKARTA - Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bersama Pulitzer Center mengadakan rembuk ilmuwan dan media dalam gelar Green Press Community 2024, Jumat (22/11/2024) di M Bloc Space, Jakarta Selatan. Rembuk ilmuwan ini bertajuk Pemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Kebijakan Iklim Menuju Target Net Zero 2060.
Sains itu belum selesai jika belum dikomunikasikan ke publik. Pernyataan itu diungkapkan Rahma Nuraini Hanifa, akademi ilmuwan muda indonesia dan pusat riset kebencanaan geologi, kelompok riset geo haard risk and ressilience BRIN.
Dia memberi contoh komunikasi risiko bencana yang berdampak pada kewaspadaan atau awareness masyarakat terhadap bencana. “Semakin sering mereka mendengar tentang sebuah isu, orang akan bereaksi, dan bisa mengadopsi kebiasaan baru,” katanya.
Rahma juga mengatakan ketika ada informasi tsunami yang menakutkan ternyata ada beberapa warga atau komunitas yang menggunakan informasi itu untuk memperkuat komunitasnya.
Irsan Pawennei Co Founder CIPG (Center for Innovation Policy and Governance) menjelaskan mengapa integrasi pengetahuan penting dalam kebijakan. Pertama, absennya koordinasi dan pendekatan silo atau membantu koordinasi dan memecah pengkotak-kotakan. Tujuannya untuk meningkatkan kapasitas pembuatan kebijakan.
Kedua, kurangnya disiplin dalam implementasi perencanaan membuat pelaksanaan kebijakan sesuai dengan perencanaan. Dia mengatakan tujuannya untuk memperbaiki proses pembuatan kebijakan pemerintah.
Terakhir untuk tawar menawar politis. Tujuannya untuk mendorong penggunaan riset untuk kebijakan.
Prof Dr Edvin Aldrian B Eng MsC wakil ketua working gorup I dalam Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC) atau panel pemerintah untuk perubahan iklim di PBB menyebutkan media bisa membantu kampanye penggunaan energi terbarukan ke masyarakat luas.
Ahmad Arief, jurnalis dari Harian Kompas, mengungkapkan pemberitaan terkait krisis iklim di media Indonesia masih sangat minim dalam menyentuh akar rumput. Menurutnya, hampir 31,8 persen dari pemberitaan tentang perubahan iklim yang ada di media didominasi oleh narasumber dari pemerintah, kepolisian, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pemberitaan ini pun cenderung berfokus pada isu-isu seremonial dan kurang mengangkat permasalahan yang lebih mendalam, seperti dampak perubahan iklim terhadap masyarakat kecil.
Dia menambahkan bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi krisis lingkungan, tetapi juga krisis media. Menurutnya, media memiliki posisi yang sangat penting dalam menyampaikan informasi terkait perubahan iklim, namun dalam kenyataannya, media sering kali tidak mampu membingkai isu ini dengan tepat.
Pemberitaan lebih banyak fokus pada tingkat tinggi, seperti pertemuan COP (Conference of the Parties) dan kebijakan pemerintah, sementara cerita tentang masyarakat yang paling terdampak oleh perubahan iklim—seperti petani yang mengalami kesulitan akibat cuaca ekstrem—jarang muncul.
Pemberitaan yang Terbatas
Pemberitaan perubahan iklim di Indonesia sering kali didominasi oleh isu-isu yang lebih bersifat seremonial. Contohnya, saat Indonesia menjadi tuan rumah COP, media lebih banyak meliput tentang peran PLN dan paviliun Indonesia, dengan sedikit memberikan perhatian pada substansi masalah perubahan iklim yang lebih mendalam.
Banyak jurnalis yang mengirimkan liputan ke sana, namun mereka cenderung fokus pada hal-hal yang dekat dengan kepentingan pemerintah atau perusahaan besar seperti PLN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Lebih jauh, narasi mengenai keadilan iklim di media Indonesia masih sangat terbatas. Suara masyarakat yang paling terdampak oleh perubahan iklim, terutama di daerah-daerah yang terlibat dalam proyek besar seperti food estate, hampir tidak terdengar.
Tidak adanya riset atau studi kelayakan yang dipublikasikan terkait proyek-proyek tersebut juga menunjukkan minimnya perhatian terhadap isu ini. Bahkan, menurut seorang sumber dari Bappenas, studi kelayakan untuk proyek-proyek besar tersebut belum ada, yang semakin menunjukkan kurangnya pemahaman dan liputan yang mendalam mengenai masalah iklim di media.
Tekanan terhadap Jurnalis Lingkungan
Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh jurnalis lingkungan adalah tingginya tekanan, baik internal maupun eksternal, dalam melakukan peliputan. Meski kekerasan terhadap jurnalis lingkungan tidak begitu banyak, tekanan untuk menulis mengenai isu-isu lingkungan sangat tinggi.
Salah satunya terkait dengan konflik sumber daya alam, khususnya di daerah-daerah yang terlibat dalam industri ekstraktif, seperti pertambangan nikel. Tekanan ini membuat banyak jurnalis merasa enggan untuk meliput isu lingkungan secara lebih mendalam.
Keterbatasan Kapasitas Jurnalis
Masalah lain yang dihadapi adalah terbatasnya jumlah jurnalis yang memiliki spesialisasi dalam bidang lingkungan dan iklim. Di Indonesia, mayoritas jurnalis adalah generalis yang tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang isu-isu kompleks seperti sains iklim.
Hal ini menyebabkan banyak pemberitaan mengenai perubahan iklim yang tidak akurat atau terlalu sederhana, karena jurnalis tidak memiliki kapasitas atau pemahaman yang cukup untuk meliputnya secara mendalam. Media di Indonesia juga jarang mendorong spesialisasi di bidang ini, sehingga peliputan isu lingkungan sering kali kurang maksimal.
Minimnya Dukungan Liputan Lingkungan
Kondisi ekonomi media di Indonesia yang sedang melemah juga menjadi faktor penghambat dalam peliputan isu iklim dan lingkungan. Banyak media yang kesulitan untuk mendanai liputan yang membutuhkan riset dan pemahaman mendalam, sementara isu lingkungan sering kali dianggap kurang menarik untuk audiens yang lebih luas. Akibatnya, pemberitaan mengenai krisis iklim dan dampaknya terhadap masyarakat menjadi terbatas, dan perhatian media terhadap isu ini pun semakin berkurang.
Secara keseluruhan, Ahmad Arief menyoroti bahwa selain krisis iklim itu sendiri, Indonesia juga menghadapi krisis media, di mana pemberitaan tentang perubahan iklim sering kali tidak mencerminkan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Kurangnya spesialisasi jurnalis, tekanan terhadap jurnalis lingkungan, serta minimnya dukungan media untuk liputan mendalam, semuanya berkontribusi pada masalah ini. Untuk itu, penting bagi media untuk memperkuat kapasitas jurnalis lingkungan dan memberikan perhatian lebih pada pemberitaan yang lebih adil dan mencakup berbagai perspektif, terutama dari masyarakat yang paling terdampak.
Post a Comment