Korupsi Sektor Kehutanan, Potensi Penerimaan Negara Hilang Ratusan Triliun Rupiah

Table of Contents

Suasana dialog publik korupsi dan tata kelola kehutanan Indonesia, yang digelar SIEJ pada acara GreenPress Community 2024, di M Bloc Space, Jakarta Selatan, Sabtu (23/11/2024). Foto: HO


JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah melakukan penelitian potensi kerugian negara atas aktivits penebangan kayu ilegal dan produksi kayu yang tidak dilaporkan. Hasil penelitian itu, kata Sulistyanto selaku Direktorat Monitoring KPK, mencapai Rp 7 triliun per tahun. 

Sedangkan data yang disampaikan Indonesia Corruption Watch, periode 2006-2015 potensi penerimaan negara yang hilang akibat korupsi dari sektor kehutanan ratusan triliun. 

“Wajah korupsi yang ada di sektor kehutanan dan sumber daya alam sudah mulai bergeser, dari soal suap dan gratifikasi menjadi declarator capture dan pengambilan keputusan,” ungkap Sulistyanto saat jadi pembicara di Greenpress Community 2024, yang diselenggarakan SIEJ di M Bloc Space, Jakarta Selatan, Sabtu (23/11). 

Dia menjelaskan praktik korupsi menjadi masalah sentral dalam tata kelola hutan di Indonesia. Praktik korupsi di sektor kehutanan, termasuk juga di dalamnya pengelolaan sumber daya mineral, merupakan isu yang kompleks.

Sulistyanto menilai kompleksitas korupsi dalam tata kelola hutan dimulai dari proses politik dan perumusan kebijakan. Kompleksitas tata kelola hutan itu diperparah dengan praktik korupsi dalam pengelolaan kawasan hutan yang melibatkan sektor swasta dan pemerintah. 

Ia mengungkapkan, sektor SDA telah lama menjadi fokus perhatian akibat berbagai bentuk korupsi yang merugikan negara dan masyarakat. Selama ini kasus korupsi SDA mencakup berbagai aspek perizinan hingga pengelolaan SDA.

Kegiatan mitigasi yang dilakukan KPK, kata Sulistyanto, meliputi penggunaan metodologi Corruption Risk Assessment (CRA). Sedikitnya ada 18 regulasi yang mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan rentan terhadap praktik korupsi. 

“Ini terjadi dalam bisnis perizinan, di mana proses mulai dari perencanaan hingga pengawasan ternyata rawan terhadap praktik suap,” paparnya.

Selain kerugian keuangan negara, Sulistyanto mengingatkan korupsi dalam sektor SDA juga berdampak terhadap lingkungan, dengan potensi kerugian Rp5 hingga Rp7 triliun per tahun. 

Lebih lanjut, Sulistyanto membeberkan sektor kehutanan dan SDA juga minim pengawasan. Hal itu telah memicu munculnya izin-izin tambang ilegal.

Pada kesempatan yang sama, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tibiko Zabar, menyebut akar kerusakan lingkungan dipicu korupsi. Sementara itu, komitmen penegakan hukum juga masih rendah. Bahkan, vonis hukuman terhadap pelaku korupsi SDA terbilang rendah.

Pada 2023, ungkap Tibiko, rata-rata hukuman penjara bagi pelaku korupsi hanya 2 hingga 3 tahun. Hukuman itu tak sebanding dengan total kerugian yang ditimbulkan. "Belum lagi bicara soal besarnya biaya pemulihan kerusakan lingkungan,” terangnya. 

Sepanjang periode 2006-2015 ICW mencatat potensi penerimaan negara yang hilang akibat korupsi dari sektor kehutanan mencapai Rp 499,5 Triliun. Data itu diperoleh dari BPS dan pencatatan negara. 

Untuk itu, Tibiko mendorong isu penerimaan negara dan SDA harus menjadi fokus perhatian para penegak hukum. Hal itu penting demi menyelamatkan pendapatan dan keuangan negara. 

“Kemudian, arah penindakan tidak hanya berfokus pada isu pembelanjaan negara, tapi juga diimbangi dengan penerimaan negara. Agar dapat memaksimalkan potensi penerimaan negara yang hilang,” katanya. (*)

Post a Comment