Perjuangan Juliana Membangun Kesadaran Suku Anak Dalam Menghapus Diskriminasi Gender
![]() |
Juliana, perempuan pertama dari SAD atau Orang Rimba yang meraih gelar sarjana. |
JAMBI - Perempuan yang bernama Juliana ini sangat pelan suaranya ketika diajak bicara. Namun ia bukanlah orang yang lemah. Ia bermental baja, dan kokoh pendirian.
Juliana adalah perempuan pertama dari Orang Rimba atau biasa disebut Suku Anak Dalam (SAD), yang berhasil meraih gelar sarjana. Perempuan berkulit sawo matang ini telah menyandang gelar Sarjana Kehutanan.
Ia kuliah 8 selama semester di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Muhammadiyah Jambi jurusan Kehutanan. Pada 9 September 2024 dinyatakan lulus.
Tak mudah baginya untuk sampai ke titik ini. Jalan terjal dilaluinya, yakni minimnya dukungan untuknya melanjutkan pendidikan.
Juliana berkisah, ia lahir di dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, saat orangtuanya masih hidup nomaden. Masa kecilnya di sana, dan disitu juga ia mulai mengenal huruf dan angka melalui pendidikan nonformal yang difasilitasi organisasi nirlaba Pundi Sumatera.
Dia akhirnya masuk ke sekolah formal ketika orangtuanya sudah pindah ke pemukiman yang disiapkan pemerintah, di Dusun Dwi Karya Bakti, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi.
Ketika itu, cukup banyak dari kelompoknya yang masuk SD yang berada di dekat pemukiman mereka. Namun hanya sedikit yang akhirnya lulus. Banyak yang memilih tidak melanjutkan sampai ke kelas VI.
Di antara rombongannya, hanya sedikit juga di antara yang lulus yang melanjutkan ke tahap SMP. Ia tak ingat persis jumlahnya.
"Banyak yang disuruh berhenti sekolah. Ada juga yang dinikahkan," ungkap Juliana beberapa waktu yang silam kepada Jambicara.
Bagi kelompoknya saat itu, pendidikan belum dianggap prioritas, apalagi bagi kaum perempuan seperti Juliana. Kondisi itu dirasakan langsung oleh perempuan berjilbab ini.
Keluarga menyarankan agar tidak melanjutkan pendidikan lagi ketika ia mau masuk ke SMP. Tidak dihiraukan. Demikian juga ketika setelah lulus SMP, diminta lebih baik menikah. Juliana lagi-lagi menentangnya, tetap melanjutkan pendidikan, ia pilih masuk ke SMK, akhirnya lulus.
Ia beruntung karena orangtuanya tidak termasuk bagian dari yang berusaha menghentikan niatnya. "Orangtua tidak melarang. Banyak omongan itu dari keluarga," jelasnya.
Tiap kelompok SAD memang memiliki ikatan kekerabatan yang sangat dekat. Semua masih memiliki pertalian keluarga.
Tantangan lebih besar dirasakannya ketika akan kuliah. Ketika itu kedua orangtua Juliana merasa berat mendukung keinginan anaknya. Faktor utama adalah karena anak sulung mereka harus keluar dari kampung tersebut. Tak terjangkau untuk pulang pergi kampus ke kampung tiap hari.
Orangtua Juliana akhirnya luluh setelah dapat bujukan dari Dewi Yunita Widiarti, CEO Pundi Sumatera. Ia yang turun meyakinkan orangtua Juliana agar mau melepas anaknya pindah ke kota mengenyam pendidikan.
"Memang berat bagi mereka untuk berpisah dengan keluarga. Mereka punya ketakutan anaknya tidak pulang lagi," ujar Dewi di kesempatan terpisah.
Bujukan dari Dewi tersebut akhirnya membuat Juliana berhasil pindah ke Kota Jambi, dan mendapatkan beasiswa di Universitas Muhammadiyah Jambi. Biaya kuliahnya gratis. Sementara biaya hidup, dapat sokongan dari Dewi dan Pundi Sumatera.
Bagi Juliana, sosok Dewi jadi inspirasinya hingga melajutkan belajar ke jenjang perguruan tinggi. Ia ingin menjadi perempuan yang berkarir, tak hanya mengurusi dapur dan kasur seperti kebanyakan perempuan yang ada di kelompoknya. Ia prihatin dengan kondisi yang telah berjalan lama itu.
Ia ingin membuktikan pada kelompoknya, dan kepada masyarakat umum, bahwa perempuan dari SAD juga setara dengan perempuan pada umumnya. Baginya, diskriminasi gender di kalangan SAD sudah seharusnya dihapuskan.
"Saya juga ingin memberikan contoh kepada adik-adik saya di sana, agar mereka tidak menghiraukan omongan orang, agar mereka tetap melanjutkan pendidikan," jelas Juliana.
Juliana sangat sadar dengan risiko yang diambilnya, yang mungkin saja akan dikucilkan dari kelompok. Ia bersyukur karena kekhawatiran itu nyatanya tak terjadi. Selalu ada kehangatan yang dirasakannya ketika pulang ke dusunnya yang berjarak ratusan kilometer dari Kota Jambi.
Perjuangan Juliana untuk menyelesaikan pendidikan saat sudah masuk ke perguruan tinggi juga sebenarnya cukup berat. Ada perbedaan kultur masyarakat yang sangat besar yang dirasakannya. Pola hidup pun jauh berbeda. Semua dilewatinya dengan kondisi jauh dari keluarga.
Diakuinya, ketika pertama di Kota Jambi, ia sering menangis. Merasakan semua perubahan itu dalam kesendirian, menurutnya bukanlah hal yang mudah. Ia bersyukur ada sejumlah orang yang menemani dan menguatkannya.
Post a Comment