Nasib Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh Tanjabtim Di Tangan Masyarakat Lokal
![]() |
Samsu Alam, Ketua LPHD Sinar Wajo, Tanjung Jabung Timur, di kawasan hutan desa. Foto: Suang Sitanggang |
TANJABTIM - Pria bernama Samsu Alam membonceng saya dengan menggunakan sepeda motor trail dari sebuah rumah yang tak jauh dari Kantor Desa Sinar Wajo menuju hutan desa. Rasanya kurang nyaman karena kondisi jalan tidak mulus. Namun Samsu Alam alias Acok, tidak mengeluhkannya, sudah dianggap biasa.
Lokasi yang akan dituju merupakan bagian dari Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh, yang terletak di Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Acok menghentikan sepeda motor di tengah lahan ditumbuhi kopi.
Dia menyebut tempat itu merupakan agroforestry. Pohon pinang dan kopi liberika tumbuh bersamaan di kawasan tersebut. Kopi terlihat sudah mulai berbuah. Pinang sudah lebih dulu bisa dipanen, tapi mereka biarkan begitu saja buahnya karena saat itu harganya terlalu rendah.
Setelah kebakaran tersebut, akhirnya dijadikan hutan desa, yang dijaga dan dikelola oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD). Adapun yang mengusahakannya adalah kelompok tani hutan (KTH). "Masing-masing KTH berisi 25 KK," ungkapnya.
Ketika masyarakat diberi kepercayaan mengelola hutan, yang terjadi adalah pengelolaannya jauh lebih baik. Semua KTH itu aktif menjaga wilayah tersebut. Mereka mengantisipasi agar tidak lagi dijilat api, terlebih saat musim kemarau.
Acok merupakan Ketua LPHD Sinar Wajo. Dia yang memimpin tim untuk patroli dan mengawasi hutan lindung gambut yang berada di desanya.
Mereka telah mengambil peran sebagai garda terdepan menjaga dan mengawasi hutan itu dari kerusakan. Bila hutan dibiarkan begitu saja, ia meyakini kondisinya semakin rusak. Bakal ada yang masuk membuka lahan dengan menanam komoditi yang tidak sesuai. Bisa terjadi kebakaran baik disengaja maupun tidak.
Hutan desa yang mereja jaga seluas 5.088 hektare. Hanya saja tak ada fasilitas bagi mereka untuk tugas besar itu. Mereka patroli dengan dana swadaya.
Semua dilakukan dengan sukarela. Uang dari dompet sendiri yang jadi biaya operasionalnya. Bagi Acok dan kawan-kawan, mereka masih mau melakukannya karena ingin menjaga wilayah kelolanya. Apalagi sudah mulai ditanami komodisi dengan nilai ekonomi yang bagus.
"Kalau soal imbalan, tidak perlu kita cerita panjang lebar. Miris nanti dengarnya," ucap Acok.
"Saya pribadi, hanya ingin tanah desa kami ini tidak sampai pindah ke tangan perusahaan. Kami dapat SK pengelolaan dari pemerintah, kami ingin mempertahankan, agar anak cucu kami bisa menikmatinya," ujar Acok.
Soal tanah pindah tangan ke perusahaan, sudah dirasakannya sendiri. Dia terkenang dengan peristiwa belasan tahun lalu.
Saat itu tanah yang digarapnya harus pindah ke perusahaan, karena di dalam peta, ternyata dimasukkan ke dalam konsesi. Keberadaannya sebagai pemilih tanah itu secara turun-temurun tak dihargai.
Peristiwa itu sangat menyakitkan baginya. Dia tidak ingin kejadian seperti itu terjadi lagi di kemudian hari. Berusaha mempertahankan hutan desa, menurutnya jauh lebih penting daripada membicarakan fasilitas dari pemerintah.
Agroforestri yang dibangun di sana, berada di bagian luar zona lindung. Diharapkannya upaya ini ke depan akan menambah penghasilan warga, yang umumnya hidup dari perkebunan.
Semakin baik taraf kehidupan warga, dia yakin akan membuat terjadi peningkatan kesadaran kolektif untuk menjaga kawasan tersebut. Dia berharap semua tanaman itu nantinya akan bisa membuat masyarakat bangga mengelola hutan desa tersebut.
Budidaya kopi liberika masih baru mereka lakukan. Komoditi ini dianggap bisa jadi solusi menghadapi fluktuasi harga atas dua komoditas utama desa itu, pinang dan kelapa.
Pinang sempat Rp 30 ribu per kilogram, jatuh hingga di bawah Rp 5 ribu. Mereka mendapatkan dukungan dari KKI Warsi untuk budidaya kopi liberika di kawasan HLG Sungai Buluh yang merupakan kawasan tanah gambut.
Di wilayah itu, ada satu menara pantau, berkonstruksi besi, dibangun pemerintah. Menara memiliki ketinggian 20 meter. Dari atas menara, terlihat jelas wilayah sekitar HLG Sungai Buluh.
Menurut Acok, bila ada titik api di dekat wilayah HLG, akan bisa terpantau dari menara. Mereka akan bisa bergerak langsung lakukan upaya yang sepatutnya, agar api tidak masuk ke wilayah hutan lindung.
“Tahun 2019 kebakaran besar terjadi lagi, tapi tidak sampai lagi ke wilayah ini. Pengelolaan gambut di sini semakin bagus, apalagi ada nasib ekonomi warga juga dipertaruhkan di dalamnya,” jelasnya.
HLG Sungai Buluh merupakan kawasan hutan yang kondisinya hingga kini tergolong masih bagus. Berbeda jauh dengan HLG Londerang, yang juga berada di Tanjabtim, habis terbakar dalam karhutla beruntun pada tahun 2015, 2017, dan 2019. (*)
Post a Comment